ISU kohesivitas koalisi partai politik (parpol) di Indonesia sepekan belakangan ini kian dinamis.
Namun, satu hal tetap similar. Pola koalisi hanyalah replikasi atau refabrikasi tapak kepentingan elitis. Bagaimana dinamika koalisi dimengerti menyusul Partai NasDem bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa ?
Pada konteks itulah, Partai Demokrat terkesan terjebak lalu terpental ke tepian koalisi. NasDem dan Anis Baswedan dituding kurang setia. Partai Demokrat mungkin agak lupa bahwa sejarah koalisi di Indonesia kerap dinodai kepentingan elite politik . Demokrat terbimbing oleh opsi agar Agus Harimurti Yudoyono harus menjadi cawapres.
Model koalisi nasional dipraktikkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dua periode karena dia sedang dalam jebakan krisis nasional. Tujuannya menciptakan stabilitas politik di tengah tantangan berat pada awal kepemimpinannya. Jokowi memilih Wakil Presiden Ma’ruf Amin dari unsur NU. Dia juga menggabungkan parpol yang berspektrum ideologis berbeda. Sementara itu, koalisi proporsional terjadi pada Demokrat dan PKS 2014-2024.
Tampaknya, NasDem melihat peluang untuk merelativisasi mengerasnya sentimen politik identitas sebagaimana kerap dialamatkan kepada Anies Baswedan, tetapi tidak mengambil AHY sebagai calon wakil karena memilih AHY akan dengan sangat mudah opini terbentuk bahwa pasangan itu hanyalah replikasi dan refabrikasi pengalaman Pilkada Jakarta yang mengglorifikasi isu politik identitas.
Namun, contoh gagal di Israel , koalisi Likud dan Biru dan Putih, yang dipimpin Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz, mengalami konflik internal. Belgia , mengalami periode tanpa pemerintahan stabil 541 hari karena disfungsional koalisi, akibat perbedaan politik di antara partai-partai di wilayah Flandria dan Wallonia.